Sebelum
tulisan ini saya lanjutkan, perlu saya pertegas jika konteks tulisan ini adalah
mode cutting-edge sebagai bentuk perlawanan terhadap mode mainstream. Ya.
Perlawanan. Seperti kita, khususnya yang masih punya otak, ketahui, industri
mode mainstream melahirkan banyak sisi gelap nan kejam yang tercipta berkat
trik-trik pemasaran ‘brilian’ mereka dengan anggaran miliaran:
overkonsumerisme, adiksi akut terhadap sifat kepemilikan, yang pada akhirnya
menjadikan manusia atau konsumennya sebagai mahkluk nihil esensi yang hanya
mengejar citra. Dangkal.
Sesuai
‘status’-nya, merek-merek cutting-edge seharusnya menjadi bagian dari
counter-culture atau bentuk perlawanan terhadap apapun yang ‘terlalu berkuasa
dan merusak’. Dan di zaman global yang serba instan ini, merek apa saja yang
mengaku diri sebagai ‘pelawan arus’ semestinya tidak lagi hanya berani
‘melawan’ secara desain dan kualitas (contoh: desain dan kata-kata provokatif
dengan bahan berkualitas prime) karena percayalah, hal-hal tersebut sudah
‘disikat’ dan ‘dikemas’ dengan jauh lebih baik dan terkurasi oleh merek-merek
mainstream yang ‘terlalu berkuasa’ itu. Jika perlawananmu hanya sebatas desain
dan slogan tanpa didukung penekanan esensi dan attitude serta perilaku lapangan
yang kuat, kamu akan selalu tertinggal. Dari sinilah ide tulisan ini muncul.
You can’t be a wannabe and then expect a genuine love and respect from others
just coz you’re playing it ‘safe’.
Jika
secara desain dan kualitas kita sudah berada di level ‘bisa diadu’ dengan
desain dan kualitas merek mainstream, untuk apa kita mengikuti cara-cara
pemasaran mainstream yang 100% hanya bertujuan mencari keuntungan? Lalu apa
bedanya kita dengan ‘mere-ka’? Yang membedakan institusi mainstream dengan institusi
cutting-edge itu apa? Cari esensinya. Apa yang cutting-edge atau berbahaya
tentang sebuah clothing brand yang tujuan utamanya hanyalah keuntungan, tanpa
ada pesan perubahan DAN aksi nyata yang kita (sebagai generasi yang muak) ingin
sampaikan atau lakukan terhadap peradaban yang makin berkarat ini? Apakah kita
ingin meniru merek mainstream dan menjadikan semua konsumen kita sebagai ‘robot
pembeli’ tanpa tahu esensi dan alasan apakah mereka ‘membutuhkan’ produk kita
atau tidak? Apakah kita mendewakan konsumerisme yang nihil esensi? What’s so
dangerous about that? Fuck your ‘cutting-edge’ bullshit if that’s your only
goal. Jika dianalogikan dengan dunia musik, tak usah menjual citra indie,
cutting-edge, berbahaya jika pesan, lirik, attitude yang disampaikan secara
esensi tiada beda dengan band atau musisi mainstream yang cenderung menjual
tema-tema ‘penumpulan syaraf kritis’. Sorry, kids, tapi dunia ini sudah lama
terbakar dan membutuhkan ‘pengasah-pengasah’ syaraf untuk memadamkannya.
Otherwise, we all just become slaves and we’re no other than ‘they are’: a
robot, a money-making machine. Just another ‘born-school-work-death’ routine.
Sedangkal itukah makna hidup kita?
So take
a side, apakah kamu ingin menjadi ‘mereka’ yang ‘menjual’ dan ‘mengemas’ pemberontakan
namun hampa kontribusi terhadap ‘perubahan’ itu sendiri (selain perubahan pada
grafik saldo tabungan mereka, mungkin)? Atau kamu benar-benar ingin menjadi
‘musuh’ mainstream dan merubuhkan semua pakem-pakem bisnis konvensional, dan
membuktikan pada ‘mereka’ jika tanpa mengikuti taktik pemsaran mereka yang
‘aman’ pun kita tetap bisa survive. Bahkan mungkin jadi lebih besar dari
mereka.
My
point is, untuk semua merek-merek yang mengklaim diri sebagai merek
cutting-edge, buktikan identitas kalian bukan hanya ‘kulit’. Tidak hanya dengan
menjadikan band atau musisi sebagai mannequin kalian, atau hanya dengan
mengadakan dan mendukung acara-acara musik ‘hura-hura’ tanpa esensi perlawanan
yang jelas. Give a real contribution and back it up with a real act. Take a
look around. Apa yang membuat tidurmu tidak nyenyak? Alam atau lingkungan di
daerahmu dirusak oleh penguasa atau investor rakus? Cari LSM yang menangani
hal-hal seperti itu dan dukung setiap gerakan mereka dengan merekmu. Bosan
melihat perlakuan homophobic masyarakat? Dukung komunitas-komunitas yang
terasing dan jadikan mereka bagian dari merekmu. Muak melihat generasi-generasi
masa kini yang semakin manja dan maunya serba instan dan trendy? Jangan ikuti
kemauan mereka, lalu jejali mereka dengan argumen-argumen yang membuat mereka
dan keluarganya menangis. Muak melihat anak-anak muda yang membanggakan
pakaiannya hanya karena dipakai juga oleh seorang selebriti? Hajar mereka
dengan ideologi dan penekanan esensi. Muak dengan acara-acara TV atau band-band
yang ‘menumpulkan’ syaraf kritis dan merdeka kita sebagai manusia? Jangan
dukung selebriti atau musisi tersebut dengan merekmu.
Itu
hanya beberapa contoh, dan kalian bisa kembangkan kerangka pemikiran tersebut
ke banyak aspek yang menurut kalian perlu ‘dilawan’. Jika dulu musik
cutting-edge adalah perlawanan, maka kini adalah era di mana apa saja (termasuk
pakaian) bisa kamu jadikan belati perlawanan. Semua tergantung pada caramu
memaknai dan menjalani. Esensi, esensi dan esensi. Think out of the box: Jika
idealis dalam bermusik itu wajar, kenapa idealis dalam memaknai pakaian itu
tiba-tiba aneh?
Saya
tahu, mematangkan sebuah ideologi itu berat dan mahal. Ia bukan seperti mie
instan yang tinggal rebus lalu dimakan begitu saja. Kita seringkali ‘menyerah’
di titik argumen agung para mainstream, “Hidup memang harus seperti itu, kalau
mau aman ya harus begini harus begitu bla bla bla.” Fuck that! We have brains,
and it’s limitless. Kita manusia, bukan robot. Dan ‘tembok-tembok’ kanker
peradaban (overkonsumerisme, pembodohan, pencitraan nihil esensi, kerakusan
penguasa dan lain-lain) bisa kita rubuhkan secara perlahan jika kita punya
cukup pengetahuan dan nyali untuk melakukannya. Serang dari segala sisi. Dukung
setiap perlawanan terhadap ‘tembok-tembok’ tersebut. Itu baru BERBAHAYA, and
that’s when you can call yourself a CUTTING-EDGE brand.
by : JRx
by : JRx